Hakikat Pembelajaran Konstektual

16 Desember 2009 pukul 5:49 am | Ditulis dalam Metodelogi Penelitian, Psikilogi Pendidikan, Teori Belajar | Tinggalkan komentar
Tag: ,

Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar  yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Motto CTL

“students learn best by actively constructing their own understanding”

“Cara belajar terbaik adalah siswa mengkonstuksikan sendiri secara aktif pemahamannya”

Perbedaan Pendekatan Konstektual (CTL) dengan Pendekatan Tradisional (Behaviorisme/Strukturalisme)

NO. Tradisional

CTL

1 Siswa adalah penerima informasi secara pasif. Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran
2 Siswa belajar secara individu Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi.
3 Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan
4 Perilaku dibangun atas kebiasaan Perilaku dibangun atas kesadaran diri
5 Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman
6 Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri.
7 Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan
8 Bahasa diajarkan dengan pendektan stuktural: rumus diterangkan sampai paham, kemudian dilatihkan Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata
9 Rumus/konsep  itu ada diluar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan Pemahaman konsep/rumus dikembangkan atas dasar skemata yng sudah ada dalam diri siswa
10 Rumus/konsep adalah kebenaran absolute(sama untuk semua orang). Hanya ada 2 kemungkinan yaitu pemahaman salah dan benar Pemahaman rumus itu relative berbeda antara siswa yang satu dengan lainnya, sesuai dengan skemata siswa (on going process of development)
11 Siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal), tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efekif, ikut bertanggung jawab ats terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
12 Pengetahuan adalah penangkapan serangkian fakta, konsep, atau hukum yang berada diluar diri manusia Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Menciptakan atau membangun pengetahuan dengan cara memberi arti dan memahami pengalamannya
13 Kebenaran bersifat absolute dan pengetahuan bersifat final. Pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incomplete)
14 Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajran mereka masing-masing.
15 Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan
16 Hasil belajar diukur hanya dengan tes Hasil belajar diukur dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes, dan sebagainya.
17 Pembelajaran hanya terjadi di kelas Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks, dan setting.
18 Sanksi adalah hukuman dari peilaku jelek Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek
19 Perilaku baik berdasar motivasi ekstrinsik (dari luar) Perilaku baik berdasar motivasi instrinsik (dari dalam)
20 Seseorang berperilaku baik karena dia terbiasa melakukan begitu. Kebiasan ini dibangun dengan hadiah yang menyenangkan Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat.

Tujuh Komponen CTL

  1. 1. Konstruktivisme (Constructivism)

Dalam proses pembelajaran, siswa membangun (konstruktiv) sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan (Students center), bukan guru.

  1. 2. Menemukan (Inquiry)

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat tetapi menemukan sendiri.

Siklus Inquiri:

¨      Observasi (Observation)

¨      Bertanya (Questionng)

¨      Mengajukan dugaan (Hiphotesis)

¨      Pengumpulan data (Data Gathering)

¨      Penyimpulan (Conclussion)

  1. 3. Bertanya (Questioning)

Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran CTL untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemmpuan berpikir siswa. Questioning dapat diterapkan : antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, anatra siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.

  1. 4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep ini menyarangkan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjsama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Diruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar

  1. 5. Pemodelan (Modeling)

Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Dalam pendekatan CTL, guru bukanlah satu-satunya model. Siswa yang berpengalaman atau pernah memenangkan lomba tertentu atau orang luar yang didatangkan adalah model.

  1. 6. Refleksi (Reflection)

Refeksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa yang lalu. Diakhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi berupa :

  1. Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya pada hari itu
  2. Catatan atau jurnal di buku siswa
  3. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu
  4. Diskusi
  5. Hasil karya
  1. 7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assassment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang biasa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.

Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa :

  1. Proyek/kegiatan dan laporannya
  2. PR
  3. Kuis
  4. Karya siswa
  5. Presentasi atau penampilan siswa
  6. Demonstrasi
  7. Laporan
  8. Jurnal
  9. Hasil tes tulis
  10. Karya tulis

Karakteristik Pembelajaran Berbasis CTL

  1. Kerja sama
  2. Saling menunjang
  3. Menyenangkan, tidak membosankan
  4. Belajar dengan bergairah
  5. Pembelajaran terintegrasi
  6. Menggunakan berbagai sumber
  7. Siswa aktif
  8. Sharing dengan teman
  9. Siswa kritis guru kreatif
  10. Dinding kelas & lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dll.
  11. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa , laporan hasil praktikum, karangan siswa, dll.


FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

16 Desember 2009 pukul 5:40 am | Ditulis dalam Filsafat Since | Tinggalkan komentar
Tag:

Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan  Ilmu Pengetahuan Alam

1.Pendahuluan

Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).

Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.

Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.

2. Pengertian Filsafat

Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).

Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.

Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).

Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.

3. Filsafat Ilmu

Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.

Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.

Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).

Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.

Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bahm,Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, p.1,11.

Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”,
Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.

Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.

Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan
Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”,
Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.

____________________.,
1996., “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”,
Cet.Ke-2, Gadjah Mada University Press Yogyakarta, p.8, 24-26, 40.

____________________.,
1999., “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan
Perkembangannya Sebagai Pen
akalah, Ditjen Dikti Depdikbud – Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, p.1.

Nuchelmans,
G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,
Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”,
Fakultas Filsafat – PPPT UGM
Yogyakarta p.6-7.

Sastrapratedja,
M., 1997., “Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, Makalah, Disampaikan Pada Internship Filsafat Ilmu Pengetahuan,
UGM Yogyakarta 2-8 Januari 1997, p.2-3.

The
Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu”, Cet. Ke-4, Penerbit Liberty
Yogyakarta, p.29, 31, 37, 61, 68, 85, 93, 159, 161.

Van
Melsen, A.G.M., 1985., “Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab,
Diterjemahkan Oleh K.Bartens
”,
Gramedia Jakarta, p.16-17, 25-26.

Van
Peursen, C.A., 1985., “Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu, Diterjemahkan Oleh J.Drost”
, Gramedia Jakarta, p.1, 4, 12.

gantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”

Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang berhubungan dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu sendiri .

Filsafat pendidikan secara garis besarnya bukanlah filsafat umum atau filsafat murni tetapi merupakan filsafat khusus atau filsafat terapan.Apabila dilihat dari sudut karakteristik objeknya,filsafat dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu(1) Filsafat umum atau filsafat murni,dan (2) filsafat khusus atau filsafat terapan. Filsafat umum mempunyai objek :
a) Hakikat kenyataan segala sesuatu (metafisika) yang termasuk didalamnya,hakikat kenyataan secara keseluruhan (Ontologi),Kenyataan tentang alam atau kosmos(Kosmologi)kenyataan tentang manusia(Humanologi) dan kenyataan tentang tuhan (Teologi)
b) Hakikat mengetahui kenyataan(Epistemologi)
c) Hakikat menyusun kesimpulan pengetahuan tentang kenyataan (Logika)
d) Hakikat menilai kenyataan (Aksiologi),antara lain tentang hakikat nilai yang berhubungan dengan baik dan jahat (Etika)serta nilai yang berhubungan dengan indah dan buruk (Estetika)

Berbeda dengan filsafat umum yang objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu,filsafat khusus mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang terpenting Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971).Kanzen, meninjau ilmu dari segi morfologis atau bentuk subtansinya,sebagi pengetahuan sistimatis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan .Ditinjau dari subtansinya atau isinya,ilmu pendidikan merupakan suatu sistim pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset dan disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan.Dalam arti sempit pendidikan adalah pengaruh yang diupayakan dan rekayasa sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanyaagar mereka mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas social mereka atau pendidikan memperhatikan keterbatasan dalam waktu,tempat,bentuk kegiaatan dan tujuan dalam proses berlangsungnya pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah,pendidikan.

Filsafat ilmu pendidikan dibedakan dalam 4 macam,yaitu:
1. Ontology ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi ilmu pendidikan
2. Epistomologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan
3. Metedologi ilmu pendidikan ,yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikanAksiologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan

Blog di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.